ialah, Nuansa

ialah, Nuansa.

            Terlahir merupakan suatu kenyataan yang absurd, terjadi begitu saja, seolah kenyataan tersebut merupakan suatu titah bahwa aku harus bertanggungjawab atas aku, seseorang menjadi dalang dan aku adalah wayang yang harus memainkan peran suatu kisah yang tak berujung. Manusia terlahir dengan ketidakberdayaannya yang polos, sehingga dia tidak bisa langsung memutuskan untuk segera mati saja karena tak ada yang dia ketahui mengenai kehidupan yang selanjutnya dia pijak adalah yang berhadapan dengan realitas membingungkan, lebih dalamnya mencekik. Namun, ketika kenyataan itu telah diselami, perlahan dan menenggelamkan, dunia ternyata berisi misteri ketidakpastian yang sialnya untukku justru menyenangkan sebab setiap hari aku mulai bertanya-tanya dan sok tahu tentang ini dan itu, meraba sudut-sudut ilmu pengetahuan yang kian membuat otak sinting, penderitaan hidup menjadi poin netral dan keinginan bunuh diri menjadi tiada, bukan karena derita itu hilang melainkan sudah kuputuskan bahwa diriku sendiri adalah derita, kebahagiaan hanya standar yang dibuat manusia untuk menyembunyikan keasliannya dari realita, maka kebahagiaan pun adalah wajah kesejatian dari penderitaan.

            Aku sebut ini agak linglung tapi tak sampai keputusan itu kutarik lagi. Sudah bulat seperti itu. Ketika tulisan ini berisi untaian kata yang saling berlompatan menyiratkan satu maksud, lalu aku teringat pada diriku yang sedang linglung, kata apa yang sesuai untuk menggambarkan segala kelinglungan ini, kutemukan satu keserasian pada Nuansa. Terdengar ringan tapi tak sesederhana itu. Pada Nuansa ini kepalaku mulai membayangkan banyak titik sebesar debu menyebar ke segala penjuru sebab awalnya dia adalah ledakan dari sebuah inti.

            Suatu hari aku pernah ada dalam ketidakmengertian, mengapa manusia yang masih bayi harus diberikan nama oleh orang tuanya, bayi itu bahkan belum mengenal siapa dirinya sehingga menjadi aneh ketika tiba-tiba sebuah nama melekat padanya, atau si orang tua bahkan adalah individu lain di luar dari si bayi, gen dan DNA bukan sebab mengapa mereka memiliki kesatuan  bahkan rasa memiliki satu sama lain karena sebuah nama adalah sebuah jati pada diri, dan itu bersifat kepemilikian yang tunggal, tak ada satu pun yang benar-benar mengerti sehingga merasa boleh ikut campur. Namun, aku insaf ketika teringat bahwa alam semesta tidak telanjang begitu saja, dia dilapisi hegemoni, nama yang melekat pada si bayi tidak berarti apapun selain urusan dari segelintir carut marut sistem sekaligus ekspektasi orang tua yang merasa akan berhasil membentuk si bayi menjadi sedemikian manusia. Aku menertawakan kesimpulan yang bekerja di dalam kepalaku, aku merapalkan doa sebelum lelap pukul dua dini hari itu, “Biarkan saja itu terjadi, selanjutnya aku merdeka untuk menentukan nama bagi diriku sendiri.”

             Nuansa.

          Aneh. Terdengar seperti kapas yang melayang tertiup angin, bunyi berasal dari hanya dua huruf yaitu N dan S yang begitu santai, terkadang bodoh tetapi irama dari U dan A membuatnya memiliki kedalaman yang jeli, entahlah, seperti sedang membuat teka-teki kamus bahasa yang kubuat sendiri karena meski ilmu kebahasaan sudah mengungkap banyak istilah, rasanya masih belum cukup dalam mendefinisikan tentang bagaimana aku, selalu ada perasaan yang sulit dibahasakan sesuai kaidah hingga membuat frustasi. Yah, sesekali kita harus meninggalkan kaidah dan mulai meracik kehidupan ini sesuka diri. Jika kamu protes dan menuduhku salah kaprah, hei, sejak kapan kejujuran memiliki aturan baku? Jika dunia menyebutmu menyimpang dari aturan, maka pernahkah kamu berpikir justru aturanlah yang menyimpang dari kesejatian manusia? Suatu aturan yang dibuat manusia untuk mengatur manusia tidak pernah benar-benar mengatur manusia karena manusia memiliki pengaturan kemanusiaannya sendiri. Kesimpulan baru: setiap hari manusia berbohong pada dirinya sendiri, gerak-gerik kepura-puraan menjadi sebab sebuah derita yang luput dari kesadaran.

            Uh, Oh, Nuansa mulai menggila hingga ubun-ubunnya terbang menghitung angin, kebiasaan dalam mencapai klimaks keberpikirannya membuat dia meletup-letup seperti insang ikan yang melahap udara karena lidahnya terkail umpan. Sedikit cara untuk membuatnya kembali bernuansa apik adalah beranjak menyeruput rumput seperti sapi, oh, bukan, sayang, rasa pahit paling unik yang pernah dia kagumi dalam lidahnya hanyalah matcha panas tanpa banyak gula, bahkan tak perlu ada gula.

“Memangnya dunia itu seperti apa?”

“Pokoknya dia sangat sibuk!”

“Oh, ya?”

“Ya, bahkan sepertinya dia tidak sadar kita sedang membicarakannya sekarang.”

“Kapan dia akan menyadari kita ada di sini?”

“Ya—secepatnya.”

“Kapan?”

“Kapan pun ketika kita mau mencari tahu siapa kita.”

            Uh, Oh, matcha panas yang kini menjadi salah satu menu yang harus ada di sorga kelak itu sudah kosong dalam gelas. Nuansa bergeming di depan meja kerjanya yang ternyata amburadul dipenuhi tahi sapi, dia tidak marah, sapi gemuk itu pun pergi setelah meninggalkan kentut yang tidak pula membuat Nuansa marah, dia hanya ingin berdoa meski pada tahi yang bergelimpangan, doa-doa rahasia. Dia tidak ingin membersihkan tahi sapi, dia hanya ingin mengucapkan aamiin.

            Aamiin.

Post a Comment

0 Comments