Manusia
Aku Perempuan
Saat ini usiaku sudah 19 tahun, aku menulis ini di atas kasurku yang sepreinya baru diganti dua hari lalu, aku suka wanginya: manis. Sebelumnya pun aku sudah membuka kedua jendela kamar, membiarkan udara segar masuk, memperjelas suara gemericik air yang jatuh ke kolam ikan, dan menonton kebun bunga milik Ibu yang tak pernah absen disiram tiap pagi atau sore: manis, harum, cantik, segar.
Aku ingin mengakui sesuatu padamu bahwa isi kepalaku terkadang menyembunyikan simpulan-simpulan tanpa sebab yang jelas, karena setiap pertanyaan dan pernyataan yang berkecamuk di kepalaku adalah juga sesuatu yang meragukanku, tak ada satupun tanya yang kusuguhkan dengan jawaban.
Begini, apakah perempuan memang senang pada hal-hal manis, harum, cantik, dan segar? Pada sesuatu yang tertata dengan baik dan indah? Bolehkah kita menyebut bahwa hal-hal tersebut adalah identitas seorang perempuan?
Semua itu menjadi pertanyaan terbesarku yang akhirnya dijadikan judul dalam tulisan ini: Aku Perempuan. Pertanyaan yang sengaja tidak diberikan tanda tanya karena bukti nyata bahwa aku seorang perempuan adalah dengan datangnya darah pertama yang mengalir mengejutkan keluar dari vaginaku setiap bulan, bahkan sesuatu yang menggantung pun tumbuh ranum pada tubuhku sampai harus disangga agar tidak perlu khawatir terombang-ambing atau bahkan lepas saat kita berlari atau meloncat ke sana kemari. Dua hal itu sudah cukup menegaskan bahwa aku memiliki kodrat yang tidak ada pada laki-laki, aku seorang perempuan, tapi sebagian dari diriku tetap mempertanyakannya: mempertanyakan arti kehadiran dan sebuah jati diri.
Apa maksud tuhan menciptakan perempuan? Eksistensi apa yang sebenarnya perempuan miliki sehingga tuhan menyandingkannya bersama alam, bersama dinamika kehidupan yang tidak sederhana, dan bersama laki-laki yang katanya sumber celaka sekaligus cinta.
Sudah banyak sekali standar yang bisa kita temui tentang bagaimana perempuan dipandang oleh dunia (atau lebih tepatnya oleh teknologi dan budaya dunia), bahwa perempuan harus memenuhi kecantikan, kemolekan, laku yang lembut, serta kepatuhan yang tidak boleh banyak menuntut. Perempuan adalah pihak yang paling tepat sebagai penunggu sehingga akan dipandang aneh dan mengganggu ketika dia banyak bicara dan menentukan pilihannya. Perempuan telah dipastikan sebagai sesuatu yang tidak lebih kuat dan pandai dari laki-laki sehingga nasibnya selalu dibuat pasif, raga dibuat diam, dan jiwa dikurung dalam cengkraman sistem, dalam dalih kodrat agama serta budaya, dalam pangkuan laki-laki yang katanya hangat, kuat, dan menjaga tanpa berpikir secara mendalam bahwa semua itu adalah representasi dari pelecehan eksistensi, pembelengguan intelektualitas, lalu tak ubahnya bagai boneka yang menjadi alat dan budak.
Begitukah sebenarnya yang tuhan maksud terhadap perempuan?
Menurutmu, untuk apa seseorang menciptakan sesuatu jika pada akhirnya sesuatu itu dibuat diam tak bergerak bagai rongsokan padahal seharusnya sesuatu itu memiliki fungsi? Akan kecil sekali kemungkinannya bila seorang pencipta bertindak dangkal terhadap yang dia ciptakan, dan besar kemungkinannya bahwa lingkungan dengan segenap proses abstrak manusia yang maha salah tafsir yang membuat sesuatu yang sudah diciptakan untuk A tetapi justru digunakan untuk B, bahkan C, bahkan mungkin lebih jauh lagi sampai berganti fungsi, melangkahi penciptanya.
Sudah kubilang kan isi kepalaku seringkali bertindak sangat jauh dan bisa jadi ceroboh hanya untuk menuntaskan rasa penasaran. Aku harap kamu paham dan tidak pergi ke mana-mana dulu sampai tulisan ini memiliki parafraf penutup.
Aku kembali melihat jendela, ternyata hari sudah petang, kututup saja dan kusembunyikan di balik gorden karena semilir anginnya sudah cukup menyegarkan setiap inci kulit dan segelintir surai rambutku yang jatuh di pundak. Ah, tapi gemericik air masih terdengar asyik meskipun kaktus, anggrek, aglonema, bahkan kumis musa dan kawan lainnya sudah tidak lagi menjadi pemandangan. Kalau kamu ingat pembahasan kita di baris pertama, kita akan sama-sama menemukan titik kebetulannya, namun bukan penasaran namanya jika akan berhenti di satu pertanyaan, satu pertanyaan timbul terkadang bukan untuk mendatangkan satu jawaban tetapi untuk menciptakan lagi pertanyaan baru yang tak sedikit. Jadi, apakah benar bahwa manis, harum, cantik, dan segar adalah identitas perempuan? Meskipun salah satu representasi dari hal tersebut sewaktu-waktu bisa tertutup gorden jika petang hingga malam tiba? Masihkah tetap harum dan segar meskipun suatu hari dunia dikacaukan oleh kemarau panjang sehingga tanah berderak dan kulit berisisik tidak lagi segar, begitupun seluruh bunga dan kumbangnya yang mati terbius kekeringan, begitupun angin yang hanya menghembuskan kegersangan, lalu bagaimana dengan perempuan-perempuan tua yang keriput termakan usia bahkan lumpuh bahkan juga bisu, masihkah mungkin si manis, harum, cantik, dan segar kita tetapkan sebagai identitasnya perempuan?
Tidak.
Pernyataan tersebut sangatlah cacat logika. Perempuan haruslah luas tafsirnya. Aku katakan padamu: manis, harum, cantik, dan segar bukan sebuah identitas, kita sebut saja itu hal netral manusia untuk melihat keindahan dan ketenangan sebagai bagian dari kelengkapan hidup yang perlu rasa dan kenikmatan. Pernah suatu pagi di jalan-jalan trotoar yang basah, sekumpulan perempuan sedang asyik bercengkrama sambil berduyun saling menyambar obrolan, ada yang berhijab ada pula yang tergerai bebas dan dicepol asal, ada yang harumnya seperti bunga dan citruss ada pula yang hanya bau matahari campur keringat yang pastilah terjun di sela-sela tubuhnya, ada yang memakai rok ada pula yang bercelana. Sekali lihat sudah banyak perbedaan yang mencolok. Aku kemudian bercermin dan mendapati diriku dengan baju rumahan yang kedodoran, tidak ada harum apapun selain aroma sabun lepas mandi sore yang samar-samar tercium, wajah kumal bekas jejak bantal yang tak bosan kupeluk seharian.
Semua itu netral, biasa saja, tidak bisa dinilai baik atau buruk, tidak bisa diasumsikan bahwa perempuan harus memenuhi sebuah kategori tertentu sehingga jika kategori tersebut tidak terpenuhi berarti perempuan dianggap cacat dan menyalahi. Segala penampilan perempuan dari mulai rambut hingga ujung kaki tidak perlu lagi diperdebatkan. Identitas perempuan jauh lebih dalam dan luas dibandingkan itu semua.
Aku harap kamu masih di sana, bersama kopi atau teh, sedang sendiri atau berpasangan, apapun itu, duduk saja dan mari lanjutkan obrolan kita.
Perempuan selalu ditempatkan dalam posisi yang harus dijaga, dimana hal-hal yang membahayakannya justru di luar daripada perempuan itu sendiri. Sebuah contoh kecil yang terjadi dua minggu lalu, aku harus menghadiri acara yang isinya didominasi oleh laki-laki, ayahku dengan keras melarang, “Tidak boleh! Bagaimana kalau ada musibah atau bahkan sengaja dicelakai?”
Hahaha. Aku ingin tertawa, tapi—ups, tidak, kumis ayahku berdenyut-denyut tidak ingin ada tapi.
Jadi, kenapa langkah baikku harus dihentikan hanya untuk menghindari orang-orang yang merasa dirinya superior padahal dia tidak punya kepentingan apapun dalam hidup kita? Betul, kan? Segala kekacauan yang terjadi pada perempuan disebabkan oleh suatu kelompok atau individu atau bahkan kita sebut saja laki-laki yang merasa berhak untuk memiliki apapun yang dia inginkan meskipun itu sebatas kepuasan sesaat. Kenapa mereka bisa merasa berhak padahal kita tidak pernah mengizinkannya? Kenapa kita yang harus dijaga padahal jelas sekali merekalah pengacaunya? Kenapa kita harus mendapat banyak batas dan bermuara dalam judgmental masyarakat sedangkan tindakan bahkan pemikiran mereka yang pandai memanipulasi bisa bebas berkeliaran?
Aku menyadari bahwa sebuah perlawanan di tengah adat dan kebiasaan yang sudah tertanam kuat dalam kehidupan akan sulit menghasilkan sebuah perubahan yang cepat. Perlu waktu dan konsistensi. Kesetaraan sangatlah jauh dan panjang perjalannya, maka, semoga tidak pernah padam untuk terus dibicarakan, semoga tidak terbungkam, tidak lepas menjadi bahan penting yang harus selalu diteliti dan diperjuangkan: termasuk dengan tulisan kecil ini, termasuk dengan rasa marah dan tidak terima yang bersemayam dalam hatimu ketika diperlakukan tidak benar, termasuk dengan euphoria yang hadir dalam jiwamu untuk terus menepis ketidakadilan yang dirasakan perempuan.
Puan, tidakkah pernah kita sadar bahwa ketiga kodrat (menstruasi, menyusui, dan melahirkan) adalah sesuatu yang luar biasa mengagumkan, sumber dari sejatinya kekuatan dan keberanian, lekuk indah setiap inci tubuh perempuan adalah mahal sekali harganya, tidak ada yang bisa membayarnya selain daripada kehormatan, namun justru oleh patriarki selalu dijadikan guyon bahkan panggung hiburan untuk pemuas tanpa mereka tahu bahwa tatapan penuh rayu itu sangat menjijikan dan bodoh, tidak akan sebanding dengan kehormatan perempuan yang seharusnya lebih agung daripada sebuah hasrat.
Puan, sudahkah kita memandang kehormatan yang ada dalam diri itu seperti hal nya bumi yang tak bosan mengagumi luasnya langit? Bayangkan, ketiga kodrat itu bisa mendatangkan kehormatan karena dari sana lah kehidupan terlahir, dari rahim perempuan yang sempit dan gelap tapi mampu menciptakan kehangatan yang bernyawa: perempuan melahirkan peradaban!
**
Berapa banyak perempuan yang lebih memilih sembunyi dan hidup dalam ragu serta takut? Mereka bahkan tidak bisa bebas mengenali diri sendiri dan hanya mengikuti alur yang dibuat oleh standar kaku dan menomorduakan dari masyarakat. Di sinilah aku berpikir bahwa selain harus terus menggaungkan kesetaraan, menjadi perempuan pun adalah tentang sadar akan kemandirian untuk senantiasa belajar, mengumpulkan banyak pustaka dalam jiwanya, merasakan banyak keterkejutan atas hal-hal baru yang ditemukan, melangkahkan diri sejauh dan sedalam mungkin untuk sampai ke tempat-tempat paling liar yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Ketika sadar dan berani terbentuk, maka tidak ada yang dapat membatasi laku langkah dan pikirnya perempuan. Ketika perempuan berani mengambil keputusan, maka dia telah belajar cara menilai. Ketika perempuan mengetahui apa yang dia inginkan, maka dia telah belajar membaca dirinya sendiri dengan segenap keteguhan yang susah payah dia tegakkan. Ketika perempuan mampu menciptakan pilihan dalam hidupnya dan menegaskan pilihan itu pada semua orang, maka dia telah belajar bersikap pada dunia yang seringkali kacau dan harus dia beri perlawanan.
Aku perempuan: aku belajar, aku bertindak.
Post a Comment
0 Comments